NEGARA HARUS BERTANGGUNG JAWAB ATAS PELANGGARAN HAM DALAM KISRUH DAFTAR PEMILIH TETAP (DPT)
Bagi bangsa yang modern dan beradab, Pemilihan Umum (Pemilu) yang bebas dan bersih adalah mekanisme menentukan kepemimpinan politik dari waktu ke waktu. Di Indonesia kita baru saja mengalami Pemilu ketiga setelah runtuhnya Orde Baru yang memerintah secara otoriter selama 32 tahun. Indonesia diakui sebagai negara yang berhasil melakukan sistem multipartai, termasuk melakukan Pemilu secara demokratis. Sayangnya, kualitas Pemilu 2009 ini menurun, menunjukkan cacat dan kelengahannya. Sungguh sangat disesalkan pelaksanaan pemilu kali ini dinodai dengan berbagai persoalan yang berujung pada pengabaian hak konstitusional warga negara, utamanya dalam persoalan banyaknya warga yang memiliki hak untuk memilih namun gagal melaksanakan haknya karena tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Data yang dilansir dari berbagai sumber menunjukkan begitu masifnya pelanggaran seputar hak pilih warga. Mengutip data yang yang disampaikan oleh Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), pelanggaran itu terjadi hampir disemua provinsi, kabupaten dan kota. Data serupa juga disampaikan oleh Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) yang melansir 40 persen persoalan Pemilu 2009 berkisar pada masalah DPT.
Bagi Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Jakarta, begitu masifnya pemilih yang gagal melaksanakan haknya dalam pemilu karena tidak terdaftar dalam DPT merupakan persoalan yang sangat serius. Terlanggarnya hak warga negara ini bukan saja mereduksi legitimasi hasil pemilu, namun lebih dari itu kasus ini jelas merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia (ham).
Dalam konteks HAM, pelanggaran hak memilih warga secara masif merupakan pelanggaran dalam domain hak sipil dan politik. Hak-hak sipil dan politik adalah hak yang bersumber dari martabat dan melekat pada setiap manusia yang dijamin dan dihormati keberadaannya oleh negara agar menusia bebas menikmati hak-hak dan kebebasannya dalam bidang sipil dan politik.
Landasan yuridis bagi pemilih dalam pemilu sebenarnya sudah dijamin dalam Undang-Undang 12 tahun 2005 menyangkut kovenan internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Pada pasal 25 UU tersebut disebutkan: hak setiap warga negara untuk ikut serta dalam penyelenggaraan urusan publik, untuk memilih dan dipilih, serta mempunyai akses berdasarkan persyaratan umum yang sama pada jabatan publik di negaranya.
Jelaslah merujuk pada pasal tersebut, banyaknya warga yang tidak bisa berpartisipasi dalam pemilu lantaran tidak terdaftar DPT merupakan bentuk pelanggaran ham serius yang dilakukan negara dalam domain hak sipil politik.
Ketidak mampuan negara dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri dan KPU sebagai pihak yang bertanggung jawab atas penyediaan DPT merupakan cerminan pengabaian Negara dalam perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia seperti di atur dalam UndangUndang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Selain itu, dalam konteks hukum pidana, pengabaian ini juga mempunyai konsukuensi hukum. Pasalnya, dalam Undang-Undang 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pada pasal 260 yang mengatur ketentuan pidana dalam UU itu disebutkan; Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya, dipidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000, 00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000, 00 (dua puluh empat juta rupiah).
Merujuk pada ketentuan tersebut, jelaslah pelanggaran hak pilih warga negara secara massif yang terjadi pada pemilu 2009, merupakan bentuk tindak pidana yang dapat diganjar hukuman penjara. Dengan kata lain setiap warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT meski memiliki hak konstitusional memilih, dapat mengajukan gugatan hukum terhadap penyelengara Pemilu – Pemerintah dan KPU.
Solusi dan Penyelesaian
1. Negara harus bertanggung jawab atas pelanggaran ham yang terjadi dalam kasus banyaknya warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT dan gagal melaksanakan hak pilihnya pada pemilu 2009.
2. Sebagai wujud tanggung jawab atas kisruh dalam kasus DPT, PBHI Jakarta mendesak agar Menteri Dalam Negeri dan seluruh anggota KPU Pusat mundur dari jabatannya
3. Sebagai konsukuensi atas mundurnya penanggung jawab penyelenggara pemilu (Mendagri dan seluruh anggota KPU Pusat), PBHI Jakarta mendesak agar Presiden dan Ketua serta pimpinan Fraksi DPR segera mengadakan pertemuan guna membahas pergantian jajaran penyelenggara pemilu agar pelaksanaan tahapan lanjutan pemilu legislatif dan Pilpres tidak terganggu sehingga dapat terlaksana sesuai jadwal .
4. PBHI Jakarta mendukung segala upaya dari pihak manapun yang akan melakukan langkah-langkah hukum terkait dengan kekisruhan dalam DPT.
5. PBHI Jakarta juga siap mendampingi secara hukum siapapun baik individu/ kelompok yang ingin mengajukan gugatan hukum atas kekisruhan yang terjadi seputar DPT.
SUMBER : http://teguhtimur.com/2009/04/11/negara-harus-bertanggung-jawab-atas-pelanggaran-ham-dalam-kisruh-daftar-pemilih-tetap-dpt/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar