Kamis, 25 November 2010

Kekerasan Dalam Pacaran

Kalau menurut saya kekerasan dalam pacaran terjadi akibat kondisi psikologis dan emosional terhadap salah satu pasangan tersebut. Hal ini bisa dikarenakan dari faktor kondisi keluarga yang kurang harmonis dan orang tua yang sering bertengkar di depan anak yang membuat anak tersebut melakukan tindak kekerasan terhadap pasangannya, dari faktor tersebut lah kekerasan dalam pacaran bisa terjadi.

Solusi dan Penyelsaian
Sebenarnya kekerasan dalam pacaran tidak akan terjadi apabila tidak ada faktor yang mendorong salah satu pasangan untuk melakukan tindak kekerasan tersebut terlebih lagi faktor tersebut berasal dari hubungan keluarga yang kurang harmonis dan orang tua yang sering bertengkar di depan ananknya karena hal tersebut adalah faktor utama yang mempengaruhi psikologis terhadap salah satu pasangan yang mengalami hal tersebut. Oleh karena itu keserasian hubungan dalam keluarga sangat dibutuhkan untuk menghindari anak melakukan kekerasan terhadap pasangannya.

Referensi: http://denmasagoenk.wordpress.com/2007/11/19/kekerasan-dalam-pacaran/

Kasus Pemuda dan Sosialisasi

PERAN STRATEGIS PEMUDA DALAM MENCEGAH
HIV/AIDS

Sedih benar saat membaca berita di salah satu harian daerah yang menyebutkan bahwa Jawa Timur mendapat peringkat nomor tiga daerah dengan penderita HIV/AIDS terbanyak di Indonesia. Dan yang lebih mengiris hati lagi pada saat membaca berita tersebut, menyebutkan bahwa pengidap birus HIV/AIDS di Jawa Timur kebanyakan berusia produktif yaitu usia mereka berkisar antara 20-29 tahun.

Ironisnya, kemungkinanbesar daerah lain di Indonesia juga mengalami hal yang sama kebanyakan yang pengidap HIV/AIDS itu adalah generasi muda. Bila ini terjadi, maka ini menjadi peringatan besar bagi bangsa ini, mengingat pemuda memiliki peran yang luar biasa. Ditangan pemuda hari inilah letak kepemimpinan masa depan ini dipertaruhkan. Bila pemuda telah dihinggapi oleh penyakit mematikan seperti HIV/AIDS, maka pertanda generasi muda kita dalam jurang kehancuran. Para pemuda ibarat ruh dalam setiap tubuh komunitas atau kelompok, baik itu dalam ruang lingkup kecil ataupun luas seperti negara. Mereka merupakan motor penggerak akan kemajuan sebuah negara. Makanya tidak heran, jika ada yang mengayakan bahwa sebuah negara akan menjadi kuat ekstensinya, ketika para pemudanya mampu tampil aktif dan dinamis di tengah masyarakat.

Sudah menjadi wacana umum, bahwa dekadensi moral yang terjadi pada kawula muda telah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Terjadinya pelanggaran norma-norma sosial yang dilakukan oleh para muda-mudi merupakan masalah terpenting utama bangsa ini dalam rangka perbaikan sumber daya manusianya. Karena, ketika sebuah etika sosial masyarakat tidak diindahkan lagi oleh kaum muda, maka laju lokomotif perbaikan bangsa dan negara akan mengalami hambatan.

Ternyata miras, narkoba, dan pergaulan bebas merupakan penyebab utama banyaknya kasus HIV/AIDS di Indonesia yaitu disebabkan oleh heteroseksual atau hubungan seks bebas dan penggunaan narkoba suntik. Dari data yang ada hampir 50% penyebaran virus HIV/AIDS di Indonesia disebabkan oleh hubungan seks bebas dan 40,7% karena penyebaran melalui jarum suntik. Bagaimana kita bisa membanggakan generasi muda kita, bila generasi kita satu-persatu mulai terjangkit virus yang mematikan ini.

Kasus Pralanaka Diskriminasi dan Etnis

Diskriminasi terhadap Penyandang Cacat dan
Lanjut Usia Meningkat di Eropa

Satu dari setiap enam warga Eropa merasa dirinya didiskriminasi. Demikian hasil jajak pendapat yang disampaikan Komisi Uni Eropa di Brussel, Belgia, Senin (09/11).

Selain diskriminasi terhadap penderita cacat, mayoritas warga Eropa berpendapat, di Eropa terdapat diskriminasi luas terhadap keanggotaan etnis. Jajak pendapat dilangsungkan di semua negara anggota Uni Eropa dan di tiga negara calon, yaitu Kroasia, Makedonia dan Turki. Masing-masing negara 1000 responden. Mereka ditanyai tentang kesan dan pengalaman seputar diskriminasi.

Beberapa hasil jajak pendapat tetap seperti tahun-tahun sebelumnya, tapi ada juga kejutan seperti dituturkan Claire Herrmann dari Komisi Eropa. "Sama dengan hasil tahun 2008, diskriminasi akibat asal-usul etnis dilihat sebagai bentuk yang paling menyebar luas di Uni Eropa. Tapi hal baru di tahun 2009 ini adalah peningkatan nyata dalam diskriminasi akibat usia lanjut atau cacat yang diderita.“

Diskriminasi akibat usia lanjut, tahun 2009 ini naik menjadi hampir 58%. Claire Herrmann merunutnya sebagai akibat dari krisis ekonomi. Dan mayoritas responden mengkuatirkan konsekuensi negatif lebih lanjut dari krisis. 64 persen warga Eropa yakin, krisis ekonomi memperburuk diskriminasi terhadap usia lanjut. 57 persen yakin, diskriminasi terhadap asal-usul seseorang bertambah akibat krisis ekonomi dan 56 % kuatir akan meningkatnya diskriminasi terhadap orang cacat.

Diskriminasi akibat asal-usul, ras, agama, orientasi seksual ataupun kecacatan dan usia adalah hal yang dilarang di Uni Eropa. Namun tidak semua warga Eropa menyadari apa hak-haknya. Banyak korban diskriminasi memilih tutup mulut bukan semata karena takut akan dampak ngatif jika melaporkan perlakuan diskriminatif, tapi juga karena ketidaktahuan. Mereka yang tidak bersedia bungkam, menurut hasil jajak pendapat, memilih untuk pertama-tama mendatangi polisi. Karena itu polisi seharusnya juga peka akan masalah diskriminasi, demikian kesimpulan Komisi Eropa.

Lalu, negara mana yang paling baik rapornya dalam hal diskriminasi dan mana yang paling buruk? Komisi Eropa menolak memberi jawaban. Kondisi di masing-masing negara sangat berbeda, sehingga tidak bisa dibandingkan satu sama lain. Claire Herrmann juga membantah jika hasil jajak pendapat dianggap menyesatkan.

"Di Swedia, tingkat diskriminasi yang dirasakan sangat tinggi, dan saya yakin itu karena rakyat Swedia memahami masalah diskriminasi. Sementara di tempat lain diskriminasi tidak dibicarakan,“ ungkap Claire Hermann.

Itu berarti, di negara di mana jarang dilaporkan kasus diskriminasi, tidak otomatis berarti situasi di sana sangat baik, tapi mungkin karena orang memilih tutup mulut. Sebaliknya, kesadaran akan hak dan pemahaman masalah, yang bisa meningkatkan jumlah laporan diskriminasi, terkadang berarti isyarat positif.

Solusi dan Penyelesaian

1. Pemerintah harus lebih tanggap mengenai masalah diskriminasi yang terjadi pada warganya

2. Korban diskriminasi jangan hanya diam saja tetapi harus melaporkan perlakuan diskriminasi tersebut ke pihak yang berwajib.

3. Polisi sebagai aparat masyarakat harus peka terhadap masalah diskriminasi

SUMBER: http://www.dw-world.de/dw/article/0,,4880970,00.html

Minggu, 07 November 2010

Kasus Warga Negara dan Negara

NEGARA HARUS BERTANGGUNG JAWAB ATAS PELANGGARAN HAM DALAM KISRUH DAFTAR PEMILIH TETAP (DPT)

Bagi bangsa yang modern dan beradab, Pemilihan Umum (Pemilu) yang bebas dan bersih adalah mekanisme menentukan kepemimpinan politik dari waktu ke waktu. Di Indonesia kita baru saja mengalami Pemilu ketiga setelah runtuhnya Orde Baru yang memerintah secara otoriter selama 32 tahun. Indonesia diakui sebagai negara yang berhasil melakukan sistem multipartai, termasuk melakukan Pemilu secara demokratis. Sayangnya, kualitas Pemilu 2009 ini menurun, menunjukkan cacat dan kelengahannya. Sungguh sangat disesalkan pelaksanaan pemilu kali ini dinodai dengan berbagai persoalan yang berujung pada pengabaian hak konstitusional warga negara, utamanya dalam persoalan banyaknya warga yang memiliki hak untuk memilih namun gagal melaksanakan haknya karena tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Data yang dilansir dari berbagai sumber menunjukkan begitu masifnya pelanggaran seputar hak pilih warga. Mengutip data yang yang disampaikan oleh Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), pelanggaran itu terjadi hampir disemua provinsi, kabupaten dan kota. Data serupa juga disampaikan oleh Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) yang melansir 40 persen persoalan Pemilu 2009 berkisar pada masalah DPT.

Bagi Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Jakarta, begitu masifnya pemilih yang gagal melaksanakan haknya dalam pemilu karena tidak terdaftar dalam DPT merupakan persoalan yang sangat serius. Terlanggarnya hak warga negara ini bukan saja mereduksi legitimasi hasil pemilu, namun lebih dari itu kasus ini jelas merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia (ham).

Dalam konteks HAM, pelanggaran hak memilih warga secara masif merupakan pelanggaran dalam domain hak sipil dan politik. Hak-hak sipil dan politik adalah hak yang bersumber dari martabat dan melekat pada setiap manusia yang dijamin dan dihormati keberadaannya oleh negara agar menusia bebas menikmati hak-hak dan kebebasannya dalam bidang sipil dan politik.

Landasan yuridis bagi pemilih dalam pemilu sebenarnya sudah dijamin dalam Undang-Undang 12 tahun 2005 menyangkut kovenan internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Pada pasal 25 UU tersebut disebutkan: hak setiap warga negara untuk ikut serta dalam penyelenggaraan urusan publik, untuk memilih dan dipilih, serta mempunyai akses berdasarkan persyaratan umum yang sama pada jabatan publik di negaranya.

Jelaslah merujuk pada pasal tersebut, banyaknya warga yang tidak bisa berpartisipasi dalam pemilu lantaran tidak terdaftar DPT merupakan bentuk pelanggaran ham serius yang dilakukan negara dalam domain hak sipil politik.

Ketidak mampuan negara dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri dan KPU sebagai pihak yang bertanggung jawab atas penyediaan DPT merupakan cerminan pengabaian Negara dalam perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia seperti di atur dalam UndangUndang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Selain itu, dalam konteks hukum pidana, pengabaian ini juga mempunyai konsukuensi hukum. Pasalnya, dalam Undang-Undang 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pada pasal 260 yang mengatur ketentuan pidana dalam UU itu disebutkan; Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya, dipidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000, 00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000, 00 (dua puluh empat juta rupiah).

Merujuk pada ketentuan tersebut, jelaslah pelanggaran hak pilih warga negara secara massif yang terjadi pada pemilu 2009, merupakan bentuk tindak pidana yang dapat diganjar hukuman penjara. Dengan kata lain setiap warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT meski memiliki hak konstitusional memilih, dapat mengajukan gugatan hukum terhadap penyelengara Pemilu – Pemerintah dan KPU.

Solusi dan Penyelesaian

1. Negara harus bertanggung jawab atas pelanggaran ham yang terjadi dalam kasus banyaknya warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT dan gagal melaksanakan hak pilihnya pada pemilu 2009.

2. Sebagai wujud tanggung jawab atas kisruh dalam kasus DPT, PBHI Jakarta mendesak agar Menteri Dalam Negeri dan seluruh anggota KPU Pusat mundur dari jabatannya

3. Sebagai konsukuensi atas mundurnya penanggung jawab penyelenggara pemilu (Mendagri dan seluruh anggota KPU Pusat), PBHI Jakarta mendesak agar Presiden dan Ketua serta pimpinan Fraksi DPR segera mengadakan pertemuan guna membahas pergantian jajaran penyelenggara pemilu agar pelaksanaan tahapan lanjutan pemilu legislatif dan Pilpres tidak terganggu sehingga dapat terlaksana sesuai jadwal .

4. PBHI Jakarta mendukung segala upaya dari pihak manapun yang akan melakukan langkah-langkah hukum terkait dengan kekisruhan dalam DPT.

5. PBHI Jakarta juga siap mendampingi secara hukum siapapun baik individu/ kelompok yang ingin mengajukan gugatan hukum atas kekisruhan yang terjadi seputar DPT.

SUMBER : http://teguhtimur.com/2009/04/11/negara-harus-bertanggung-jawab-atas-pelanggaran-ham-dalam-kisruh-daftar-pemilih-tetap-dpt/

Jumat, 05 November 2010

Kasus Pelapisan Sosial dan Kesetaraan Derajat

KESEMPATAN DAN KESETARAAN PENDIDIKAN
Salah satu isu penting dan menjadi concern Mendiknas saat ini adalah masalah kesetaraan dan keadilan dalam pendidikan. Dalam masalah ini seharusnya ada suatu kebijakan agar masalah ini bisa terselesaikan, seperti kebijakan nondiskriminatif yaitu suatu kebijakan dalam pendidikan yang tidak lagi membedakan asal-usul pengelolaan (negeri-swasta), status ekonomi (kaya-miskin), kewilayahan (Jawa-Luar Jawa), maupun latar belakang pengelola (keagamaan-non-keagamaan).

Jika kesetaraan dilihat dari aspek input sumber daya sekolah, seluruh kebutuhan yang menjadi prasyarat terciptanya sebuah sekolah yang nondiskriminatif, seperti guru yang berkualitas, sarana dan fasilitas yang memadai, serta manajemen pengelolaan yang transparan dan akuntabel haruslah dirasakan oleh seluruh siswa dalam setiap aspek pelayanan. Dalam hal ini, anggaran pendidikan dan seluruh pernik-pernik sumbernya adalah kata kunci yang harus diselesaikan terlebih dahulu dalam mengejar masalah kesetaraan.

Tingkat kemampuan orang tua dan cara lingkungan tempat siswa tinggal memperlakukan mereka adalah masalah serius yang juga harus diselesaikan dan harus menjadi faktor pertimbangan pemerintah dalam mengerjakan kebijakan nondiskriminatif ini. Tentu terdapat banyak sekali ketimpangan yang luar biasa yang menyebabkan anak-anak menjadi semakin jauh dari isu kesetaraan dalam menerima pendidikan yang berkualitas, seperti terbatasnya kemampuan negara untuk menjadikan mereka sebagai penduduk yang sejahtera. Faktor kemiskinan hanya dieksploitasi sebagai kebutuhan politik semata. Ada begitu banyak ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang berlangsung sangat lama dalam dunia pendidikan kita, sehingga upaya sungguh-sungguh untuk mencapainya merupakan sebuah harapan.

Beberapa program yang sejauh ini ada justru menimbulkan masalah baru dalam isu nondiskriminatif, yaitu isu soal ujian nasional dan alokasi anggaran operasional sekolah melalui program BOS. Kita patut mencemaskan jika kebijakan nondiskriminatif ini sesungguhnya hanya akan memperpanjang daftar masalah ketidaksetaraan dalam pendidikan. Ada baiknya jika mengevaluasi kembali kebijakan-kebijakan yang justru menjadi sumber diskriminasi pelayanan pendidikan. Hal ini dikarenakan program BOS dalam analisis satuan biaya pendidikan yang dimaksudkan untuk mengetahui rekam jejak kebutuhan pembiayaan siswa per anak per tahun, dalam rangka menghitung besaran uang yang harus ditanggung orang tua dan subsidi yang harus disediakan Pemerintah. Tetapi sayangnya tidak mampu menjelaskan tentang pembiayaan pendidikan yang berorientasi pada mutu dengan menggunakan sekolah sebagai unit analisisnya. Hal ini terlihat dari cara bagaimana Pemerintah mendistribusikan program Bantuan Operasiona Sekolah (BOS) yang justru sangat diskriminatif tersebut.
Oleh karena itu BOS cenderung memperlebar jurang diskriminatif antar sekolah karena besaran BOS diberikan berdasarkan jumlah siswa di suatu sekolah tanpa mempertimbangkan kemampuan lingkungan, orang tua, dan siswa sendiri dalam upaya mencapai hasil pendidikan yang maksimal

Solusi dan Penyelesaian
  1. Pemerintah harus berusaha menciptakan budaya sekolah yang sehat dan kondusif agar dapat menciptakan pencapaian akademik siswa ke arah yang lebih baik.
  2. Bantuan Operasional Sekolah (BOS) harus dievaluasi, tujuan penggunaannya harus dikontrol dan difokuskan paling ridak untuk dua hal. Pertama, membangun budaya sekolah yang sehat, transparan, dan akuntabel. kedua, penggunaan dana BOS sebaiknya untuk memberi kesempatan kepada anak-anak yang tidak mampu, baik secara akademis maupun finansial, dalam memperoleh derajat kesetaraan dalam pendidikan
Referensi : Hartomo, H, Ilmu Sosial Dasar

Senin, 01 November 2010

Kasus Individu, Keluarga, dan Masyarakat

KENAKALAN REMAJA SEBAGAI PERILAKU MENYIMPANG HUBUNGANNYA DENGAN KEBERFUNGSIAN SOSIAL KELUARGA DAN MASYARAKAT
Pada dasarnya kenakalan remaja menunjuk pada suatu bentuk perilaku remaja yang tidak sesuai dengan norma - norma yang hidup di dalam masyarakat. Remaja yang nakal itu disebut juga sebagai anak cacat sosial. Mereka yang menderita cacat mental disebabkan oleh pengaruh sosial yang ada ditengah masyarakat, sehingga perilaku mereka dinilai oleh masyarakat sebagai suatu kelainan dan disebut kenakalan. Kenakalan remaja adalah kelainan tingkah laku remaja yang bersifat anti sosial. melanggar norma sosial, agama serta ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat.

Dari segi hukum kenakalan remaja digolongkan dalam dua kelompok yang berkaitan dengan norma-norma hukum, yaitu:
  1. Kenakalan yang bersifat amoral dan sosial serta tidak diantar dalam undang-undang sehingga tidak dapat atau sulit digolongkan sebagai pelanggaran hukum.
  2. Kenakalan yang bersifat melanggar hukum dengan penyelesaian sesuai dengan undang-undang dan hukum yang berlaku sama dengan perbuatan melanggar hukum bila dilakukan orang dewasa.
Sedangkan menurut bentuknya kenakalan remaja digolongkan dalam tiga tingkatan, yaitu:
  1. Kenakalan biasa, seperti suka berkelahi, suka keluyuran, membolos sekolah, pergi dari rumah tanpa pamit.
  2. Kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan seperti mengendarai mobil tanpa SIM, mengambil barang orang tua tanpa izin
  3. Kenakalan khusus seperti penyalahgunaan narkotika, hubungan seks diluar nikah, pemerkosaan, dan lain-lain.
Solusi dan Penyekesaian Masalah
1. Keutuhan Keluarga
Secara teoritis keutuhan keluarga dapat berpengaruh terhadap kenakalan remaja.Artinya banyak terdapat anak-anak remaja yang nakal datang dari keluarga yang tidak utuh, baik dilihat dari struktur keluarga maupun dalam interaksinya dalam keluarga. Ketidakberfungsian dalam keluarga untuk menciptakan keserasian dalam interaksi mempunyai kecenderungan anak remajanya melakukan kenakalan.Oleh karena itu semakin serasi hubungan atau interaksi dalam keluarga tersebut tingkat kenakalan yang dilakukan akan semakin kecil.
2. Kehidupan Beragama Keluarga
Kehidupan beragama keluarga juga dijadikan salah satu ukuran untuk melihat keberfungsian keluarga. Sebab dalam konsep keberfungsian juga dilihat dari segi rohani. Sebab keluarga yang menjalankan kewajiban agama secara baik, berarti mereka akan menanamkan nilai - nilai dan norma yang baik. Artinya secara teoritis bagi keluarga yang menjalankan kewajiban agamanya secara baikm maka anak-anaknya pun akan melakukan hal - hal yang baik sesuai dengan norma agama. Dengan demikian ketaatan dan tidaknya beragama bagi keluarga sangat berhubungan dengan kenakalan yang dilakukan oleh anak - anaknya. Hal ini berarti bahwa bagi keluarga yang taat menjalankan kewajiban agamanya kecil kemungkinan anaknya melakukan kenakalan, baik kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan maupun kenakalan khusus.
3. Sikap Orang Tua dalam Pendidikan Anak
Salah satu sebab kenakalan remaja adalah sikap orang tuanya dalam mendidik anaknya Mereka yang orang tuanya otoriter, overprotection, kurang perhatian, dan tidak memperhatikan sama sekali dapat menjadikan penyebab kenakalan remaja karena dari sikap orang tua tersebut anak dapat menentukan tindakannya untuk melakukan tindakan yang baik atau tidak. Dari kenyataan tersebut ternyata peranan keluarga dalam pendidikan sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan anak.
4. Interaksi Keluarga dalam Kehidupan
Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat, oleh karena itu mau tidak mau keluarga harus berhubungan dengan lingkungan sosialnya. Adapaun yang diharapkan dari hubungan tersebut adalah serasi, karena keserasian akan menciptakan kenyamanan dan ketentraman. Apabila hal itu dapat diciptakan, hal itu merupakan proses sosialisasi yang baik bagi anak-anaknya.

SUMBER : http://www.depsos.go.id/Balatbang/Puslitbang%20UKS/2004/Masngudin.htm

Minggu, 31 Oktober 2010

Kasus Agama dan Masyarakat

KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA

Peristiwa besar hancurnya World Trade Center di New York 11 September 2001 sebagai akibat serangan teroris merupakan catatan sejarah kekerasan yang dituding berbasis agama. Peristiwa pemboman dengan dalih serupa terjadi di Indonesia tepatnya di Legian Bali 12 Oktober 2002 menyusul menambah daftar kekerasan dan terorisme. Kedua peristiwa kemanusiaan tersebut tidak berhenti begitu saja, 20 Maret 2003 serangan Amerika Serikat ke Irak memperburuk tragedi kemanusiaan yang tak kunjung usai. Terakhir tanggal 17 Juli 2009, bom kembali diledakkan dan kali ini kembali di Jakarta yaitu di dua hotel besar sekaligus di kawasan Mega Kuningan yaitu JW Marriot dan Ritz Carlton. Tafsir yang cukup masif atas rangkaian-rangkaian peristiwa tersebut adalah makna sentimen agama.

Sebenarnya sejarah kekerasan atas nama agama sudah lama menjadi bagian dari kehidupan keagamaan manusia. Agama juga dituding menyebabkan disintegrasi masyarakat. Faktor agama seringkali bukan faktor tunggal dalam memicu konlik kekerasan, terdapat variabel lain yang terkait dengan faktor agama, antara lain adalah faktor politik. Agama dengan mudah ditarik ke dalam dataran konflik sosial karena nilai sensitif agama bagi setiap orang. Emosi keagamaan sangat rentan bagi meluasnya konflik keagamaan karena menempati wilayah sangat dalam bagi setiap manusia sehingga agama mudah menjadi alat legitimasi bagi suatu tindakan.

Solusi dan pencegahan
1. Memahami Agama Sebagai Prinsip Kehidupan Manusia
Agama diturunkan ke ,muka bumi ini untuk kebaikan umat manusia, tidak satupun agama membenarkan tindak kekerasan.Nilai universal agama sangat menjunjung kaidah kemanusiaan.Kekerasan sangat bertentangan dengan nilai luhur dari setiap agama. Agama sebagai penuntun kehidupan umat manusia pada prinsipnya terdiri dari nilai - nilai yang mencerminkan kepedulian yang tunggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan karena itu agama menolak segala bentuk sikap dan perilaku yang bertentangan dengan nilai - nilai tersebut.. Dalam tataran agama, agama manapun sangat menekankan kehidupan yang penuh kedamaian dan sejenisnya serta melarang segala bentuk kekerasan.
2. Adanya Peran Tokoh Agama
Keberadaab umat tidak dapay dilepaskan dari peran tokoh agama dalam mendakwahkan agama. Tokoh agama oleh karenanya menduduki posisi yang penting dalam kehidupan keberagamaan umat. Tentunya ini sangat berkaitan dengan peran atau tanggung jawab yang di embannya. Tokoh agama harus berupaya membatasi atau mengurangi konflik antar etnis dan agama dengan pendekatan kultural ideologis, haruslah dilakukan dengan mengefektifkan kemampuan pemimpin agama dalam menginterpretasikan dan mengkomunikasikan ajaran agama dengan arif dan keteladanan. Sebab, dari pemimpin agama itulah memahami dan menjalankan ajaran agama. Penafsiran ajaran agama secara komprehensif, yang menjauhkan dari sikap ekslusif dan fanatik sempit akan membawa umat terhindar dari perilaku konflik.

Referensi : Drs. P. Soedarno, M. Sc, Ilmu Sosial Dasar

Kasus Pendidikan Masyarakat dan Kebudayaan

PENGARUH BUDAYA DAN PENDIDIKAN TERHADAP MARAKNYA PERNIKAHAN DINI DI DESA GEJUGJATI PASURUAN
Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi maraknya pernikahan dini di Desa Gejugjati Kecamatan Lekok Kabupaten Pasuruan. Dari beberapa faktor tersebut bersifat kompleks dan saling berkaitan satu dengan yang lain. Aspek - aspek yang ada paling tidak telah merepresantikan apa yang ada dalam masyarakat beserta unsur-unsurnya. Dalam perkembangannya kemudian, berbagai macam aspek atau pengaruh tersebut menjadikan muncul dan maraknya pernikahan dini di Desa Gejugjati ini.

Faktor yang sangat dominan yang melatarbelakangi pernikahan dini yaitu:
1. Faktor tingkat pendidikan
Sekolah merupakan aktivitas sampingan bagi kebanyakan anak-anak dan remaja di Desa Gejugjati, karena hari-harinya sudah tersibukan dengan membantu orang tuanya. Umumnya remaja dan anak - anak di desa ini diajarkan tata cara bertani dan beternak yang baik sebagai pembekalan untuk menghidupi dirinya dan keluarganya kelak ketika ia sudah dewasa.. Kebanyakan warga desa kurnag memperhatikan tingkat kematangan kepribadian individu saat melangsungkan pernikahan, mereka umumnya menikah pada masa seorang remaja masih baru pertama mempunyai rasa suka terhadap lawan jenis dan tingkat pendewasaannya belum sempurna.
2, Faktor Ekonomi
Penduduk Desa Gejugjati mayoritas berasal dari suku Madura, bermata pencaharian sebagai peternak sapi perah, petani, dan buruh tani yang tergolong berada pada tingkat ekonomi menengah kebawah. Aktivitas pemuda dan anak-anak di desa ini umumnya membantu orang tuanya bertani. Dengan tantangan hidup seperti itu, dampak pada tingkat kesadaran pendidikan, mereka kurang memperhatikan tentang masalah pendidikan.
3. Faktor Budaya
Faktor budaya ini sangat kental mempengaruhi kehidupan masyarakat di daerah ini. Dengan latar belakang kebudayaan perpaduan antara Etnis Madura dan Agama Islam yang menyatu kental menimbulkan budaya seperti yang ada di Desa Gejugjati seperti itu. Dalam tradisi masyarakat Gejugjati bahwa seorang anak yang belum menikah pada umum 18 ataupun 20 tahun akan dianggap sebagai perawan tua.Dan bila mungkin disekitar 14-16 ia menolak lamaran seorang pria ada kemungkinan ia akan menjadi perawan tua atau tidak laku kawin, karena pernah menolak tawaran kawin. Selain itu didalam prinsip masyarakat Gejugjati yang penting kawin dulu, masalah rezeki nanti belakangan karena sudah ada yang mengatur.
Solusi dan Penyelesaian Masalah
Untuk mengurangi semakin tingginya tingkat pernikahan dini di Desa Gejugjati Kecamatan Lekok Kabupaten Pasuruan, hal yang harus dilakukan adalah :
1. Pendirian sekolah baru setingkat SLTP untuk menambah jumlah kapasitas daya tampung dari seluruh siswa lulusan SD/MI di Kecamatan Lekok. Agar anak-anak mereka mendapatkan pendidikan dan kepribadian mereka.
2. Menambah tenaga pendidik untuk mengatasi kekurangan tenaga pendidik.
3. Penyuluhan terkait pernikahan dini untuk mengubah tradisi tentang pernikahan dini dengan berbagai dampak buruknya.
4. Penanaman tentang pernikahan dini sejak dini kepada warga dengan berbagai macam dampak negatifnya.

Referensi : Soelaeman, Munandar, Ilmu Sosial Dasar; Teori dan Konsep Ilmu Sosial; Refika Aditama; 2001